raza.com
BELAJAR MENGEJAR PRESTASI
Rabu, 29 Februari 2012
Jumat, 28 Mei 2010
Pengkondisian Udara (AC) (3)
Setelah mengulas tantangan kontemporer yang dihadapi oleh teknologi refrigerasi/pengkondisian udara serta beberapa alternatif sistem yang telah dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, bagian ke-3 dari seri tulisan tentang refrigerasi ini mengulas perkembangan teknologi di bidang refrigeran (fluida kerja mesin refrigerasi) dan teknologi mesin refrigerasi itu sendiri.
Perkembangan Teknologi di Bidang Refrigeran
Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi. Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena dialah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Seperti telah dijelaskan pada Bagian 1, masalah kontemporer yang menghadang refrigeran adalah munculnya lubang ozon dan pemanasan global.
ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi. Calm (2002) membagi perkembangan refrigeran dalam 3 periode: Periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria refrigeran "apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi". Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2, hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an menggunakan kriteria refrigeran: aman dan tahan lama (durable). Refrigeran pada periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, setelah 1990-an, dengan kriteria refrigeran "ramah lingkungan". Refrigeran pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2.
Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masing-masing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005).
Powell (2002) menerangkan bebeapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran pengganti, yakni:
1. Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran lama yang ber-klorin.
2. Tidak mudah terbakar.
3. Tidak beracun.
4. Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi.
5. Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan.
Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse, 2000).
Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang sangat baik antara produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah memungkinkan terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara besar-besaran di 1986 hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di tahun 1996. Banyak kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil diterapkan.
Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk CFCs) telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat mendekati zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon Propana (R290) juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C merupakan campuran antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan R410A adalah campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini, beberapa perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah menggunakan R410A dalam produk mereka.
Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata "alami" menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002).
Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon, meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar; oleh karena itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem ekspansi langsung. Sistem refrigerasi tak-langsung bisa digunakan untuk mengatasi kelemahan kedua refrigeran tersebut. Beberapa peneliti berusaha menekan tingkat keterbakaran refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya bersama refrigeran lain yang tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk., 2004; Dlugogorsky dkk., 2002). Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya sudah tersedia teknologi untuk meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi yang menggunakan refrigeran hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat sistem tersebut aman dan terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi Refrigerasi Alternatif
Munculnya beberapa permasalahan pada refrigerasi siklus kompresi uap dalam dekade belakangan ini membuat beberapa peneliti berusaha memunculkan sistem refrigerasi alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa. Teknologi alternatif tersebut diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption), dan efek magnetokalorik. Sistem absorpsi dan adsorpsi padatan tidak menggunakan refrigeran yang merusak ozon dan menimbulkan pemanasan global, serta bisa memanfaatkan panas matahari ataupun panas buangan; sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer.
Refrigerasi Siklus Absorpsi
Refrigerasi absorpsi merupakan siklus yang digerakkan oleh energi termal. Berbeda dengan sistem refrigerasi konvensional, energi mekanik yang diperlukan oleh refrigerasi absorpsi sangat kecil. Diagram refrigerasi absorpsi efek tunggal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 1 Diagram siklus refrigerasi absorpsi efek tunggal
Pada Gambar 1, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja yang diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh generator, QC adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang diserap oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi berfungsi untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator, sehingga bisa menghemat energi.
Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor seperti yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik (mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa ke generator.
Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil, sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari larutan. Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses selanjutnya tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi, penuruan tekanan (melalui mekanisme penghambat aliran - flow restrictor), dan evaporasi.
Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat cocok digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas) bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002).
Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya dalam siklus kompresi uap, yakni:
(3)
Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan dengan komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (3). Dalam aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin (2001) menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siklus absorpsi.
Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni:
1. Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling elevation) haruslah sebesar mungkin.
2. Refrigeran perlu memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator per-satuan kapasitas pendinginan.
3. Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien difusi, yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik.
4. Baik refrigeran dan absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah.
Kriteria lain untuk fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk refrigeran siklus kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan LiBr/Air (Srikhirin dkk., 2001).
Refrigerasi Adsorpsi Padatan (solid adsorption)
Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang sama dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap dari fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel silika, zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti karbon aktif, polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic memiliki kemampuan ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti air), sedangkan adsorben hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar (seperti minyak).
Gambar 2 Diagram Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal
Siklus adsorpsi dasar bisa dilihat pada Gambar 5. Siklus ideal dimulai dari titik A: adsorben berada pada temperatur rendah, TA, dan tekanan rendah, PE (tekanan evaporasi). A - B menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat. Pada saat ini, wadah adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan lanjut pada adsorben dari B ke D menyebabkan sebagian adsorbat mengalami desorpsi dan selanjutnya uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat adsorben mencapai temperatur maksimum, TD, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya cairan adsorbat dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan mendingin. Penurunan temperatur dari D ke F menyebabkan penurunan tekanan dari PC ke PE. Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi terjadi pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan muncul pada saat terjadinya evaporasi adsorbat.
Dibandingkan dengan siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi jauh lebih kecil. Sumathy dkk. (2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu dilakukan pada siklus adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus tersebut. COP tertinggi siklus adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06. Beberapa peneliti telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang, seperti pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk., 2006a), refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005), pendingin air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang dkk., 2006b).
Refrigerasi Efek Magnetokalorik
Efek magnetokalorik, yang merupakan sifat intrinsik seluruh material magnetik, menyebabkan material yang bersifat magnetik akan membuang panas dan tingkat entropi magnetiknya turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal. Efek yang berkebalikan akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan demikian, efek magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat. Prinsip ini telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk., 2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap. Efisiensi refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 - 60% terhadap siklus Carnot, sedangkan siklus kompresi uap hanya mencapai 5 - 10% terhadap siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh karena itu, refrigerasi magnetik diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa mendatang.
Siklus dasar refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling magnetik, siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja siklus refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan di bawah ini (lihat juga Gambar 6).
1. Proses magnetisasi isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet (dari H0 ke H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator untuk menjaga refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan refrigeran adalah material magnetik itu sendiri.
2. Proses pendinginan pada medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet konstan (H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator.
3. Proses demagnetisasi isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari H1 ke H0), panas diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk menjaga kondisi isotermal pada refrigeran.
4. Proses pemanasan pada medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran magnetik kembali ke kondisi semula (A).
Gambar 3 Diagram siklus Ericcson magnetik. Pada gambar tersebut, S dan T masing-masing adalah entropi dan temperatur.
Beberapa peneliti mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi magnetik sebagai pengganti sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis Research Center of American National Aeronautics and Space Administration, Brown menggunakan logam tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai refrigeran magnetik untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan menambahkan berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal gadolinium, Vitalij Pecharsky dan Karl Gschneidner dari the Ames Laboratory di Iowa State University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga enam kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material yang lebih kecil (Glanz, 1998).
Dengan memadukan refrigeran magnetik Gd5Ge2Si2 dan sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004) melaporkan bahwa mereka bisa mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan refrigeran magnetik kurang efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan gadolinium, Tegus dkk. (2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam transisi, MnFeP0.45,As0.55, untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan hasil refrigerasi yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan Gd5Ge2Si2. Namun demikian, saat ini pengembangan refrigerasi magnetik pada temperatur ruang masih belum matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa kesulitan utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah:
1. Diperlukannya material magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar,
2. Diperlukannya medan magnet yang kuat, dan
3. Diperlukannya sifat regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.
Setelah mengulas tantangan kontemporer yang dihadapi oleh teknologi refrigerasi/pengkondisian udara serta beberapa alternatif sistem yang telah dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, bagian ke-3 dari seri tulisan tentang refrigerasi ini mengulas perkembangan teknologi di bidang refrigeran (fluida kerja mesin refrigerasi) dan teknologi mesin refrigerasi itu sendiri.
Perkembangan Teknologi di Bidang Refrigeran
Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi. Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena dialah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Seperti telah dijelaskan pada Bagian 1, masalah kontemporer yang menghadang refrigeran adalah munculnya lubang ozon dan pemanasan global.
ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi. Calm (2002) membagi perkembangan refrigeran dalam 3 periode: Periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria refrigeran "apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi". Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2, hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an menggunakan kriteria refrigeran: aman dan tahan lama (durable). Refrigeran pada periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, setelah 1990-an, dengan kriteria refrigeran "ramah lingkungan". Refrigeran pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2.
Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masing-masing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005).
Powell (2002) menerangkan bebeapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran pengganti, yakni:
1. Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran lama yang ber-klorin.
2. Tidak mudah terbakar.
3. Tidak beracun.
4. Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi.
5. Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan.
Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse, 2000).
Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang sangat baik antara produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah memungkinkan terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara besar-besaran di 1986 hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di tahun 1996. Banyak kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil diterapkan.
Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk CFCs) telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat mendekati zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon Propana (R290) juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C merupakan campuran antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan R410A adalah campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini, beberapa perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah menggunakan R410A dalam produk mereka.
Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata "alami" menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002).
Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon, meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar; oleh karena itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem ekspansi langsung. Sistem refrigerasi tak-langsung bisa digunakan untuk mengatasi kelemahan kedua refrigeran tersebut. Beberapa peneliti berusaha menekan tingkat keterbakaran refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya bersama refrigeran lain yang tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk., 2004; Dlugogorsky dkk., 2002). Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya sudah tersedia teknologi untuk meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi yang menggunakan refrigeran hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat sistem tersebut aman dan terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi Refrigerasi Alternatif
Munculnya beberapa permasalahan pada refrigerasi siklus kompresi uap dalam dekade belakangan ini membuat beberapa peneliti berusaha memunculkan sistem refrigerasi alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa. Teknologi alternatif tersebut diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption), dan efek magnetokalorik. Sistem absorpsi dan adsorpsi padatan tidak menggunakan refrigeran yang merusak ozon dan menimbulkan pemanasan global, serta bisa memanfaatkan panas matahari ataupun panas buangan; sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer.
Refrigerasi Siklus Absorpsi
Refrigerasi absorpsi merupakan siklus yang digerakkan oleh energi termal. Berbeda dengan sistem refrigerasi konvensional, energi mekanik yang diperlukan oleh refrigerasi absorpsi sangat kecil. Diagram refrigerasi absorpsi efek tunggal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 1 Diagram siklus refrigerasi absorpsi efek tunggal
Pada Gambar 1, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja yang diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh generator, QC adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang diserap oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi berfungsi untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator, sehingga bisa menghemat energi.
Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor seperti yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik (mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa ke generator.
Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil, sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari larutan. Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses selanjutnya tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi, penuruan tekanan (melalui mekanisme penghambat aliran - flow restrictor), dan evaporasi.
Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat cocok digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas) bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002).
Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya dalam siklus kompresi uap, yakni:
(3)
Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan dengan komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (3). Dalam aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin (2001) menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siklus absorpsi.
Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni:
1. Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling elevation) haruslah sebesar mungkin.
2. Refrigeran perlu memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator per-satuan kapasitas pendinginan.
3. Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien difusi, yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik.
4. Baik refrigeran dan absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah.
Kriteria lain untuk fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk refrigeran siklus kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan LiBr/Air (Srikhirin dkk., 2001).
Refrigerasi Adsorpsi Padatan (solid adsorption)
Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang sama dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap dari fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel silika, zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti karbon aktif, polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic memiliki kemampuan ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti air), sedangkan adsorben hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar (seperti minyak).
Gambar 2 Diagram Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal
Siklus adsorpsi dasar bisa dilihat pada Gambar 5. Siklus ideal dimulai dari titik A: adsorben berada pada temperatur rendah, TA, dan tekanan rendah, PE (tekanan evaporasi). A - B menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat. Pada saat ini, wadah adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan lanjut pada adsorben dari B ke D menyebabkan sebagian adsorbat mengalami desorpsi dan selanjutnya uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat adsorben mencapai temperatur maksimum, TD, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya cairan adsorbat dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan mendingin. Penurunan temperatur dari D ke F menyebabkan penurunan tekanan dari PC ke PE. Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi terjadi pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan muncul pada saat terjadinya evaporasi adsorbat.
Dibandingkan dengan siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi jauh lebih kecil. Sumathy dkk. (2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu dilakukan pada siklus adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus tersebut. COP tertinggi siklus adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06. Beberapa peneliti telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang, seperti pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk., 2006a), refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005), pendingin air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang dkk., 2006b).
Refrigerasi Efek Magnetokalorik
Efek magnetokalorik, yang merupakan sifat intrinsik seluruh material magnetik, menyebabkan material yang bersifat magnetik akan membuang panas dan tingkat entropi magnetiknya turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal. Efek yang berkebalikan akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan demikian, efek magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat. Prinsip ini telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk., 2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap. Efisiensi refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 - 60% terhadap siklus Carnot, sedangkan siklus kompresi uap hanya mencapai 5 - 10% terhadap siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh karena itu, refrigerasi magnetik diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa mendatang.
Siklus dasar refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling magnetik, siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja siklus refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan di bawah ini (lihat juga Gambar 6).
1. Proses magnetisasi isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet (dari H0 ke H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator untuk menjaga refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan refrigeran adalah material magnetik itu sendiri.
2. Proses pendinginan pada medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet konstan (H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator.
3. Proses demagnetisasi isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari H1 ke H0), panas diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk menjaga kondisi isotermal pada refrigeran.
4. Proses pemanasan pada medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran magnetik kembali ke kondisi semula (A).
Gambar 3 Diagram siklus Ericcson magnetik. Pada gambar tersebut, S dan T masing-masing adalah entropi dan temperatur.
Beberapa peneliti mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi magnetik sebagai pengganti sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis Research Center of American National Aeronautics and Space Administration, Brown menggunakan logam tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai refrigeran magnetik untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan menambahkan berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal gadolinium, Vitalij Pecharsky dan Karl Gschneidner dari the Ames Laboratory di Iowa State University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga enam kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material yang lebih kecil (Glanz, 1998).
Dengan memadukan refrigeran magnetik Gd5Ge2Si2 dan sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004) melaporkan bahwa mereka bisa mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan refrigeran magnetik kurang efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan gadolinium, Tegus dkk. (2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam transisi, MnFeP0.45,As0.55, untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan hasil refrigerasi yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan Gd5Ge2Si2. Namun demikian, saat ini pengembangan refrigerasi magnetik pada temperatur ruang masih belum matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa kesulitan utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah:
1. Diperlukannya material magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar,
2. Diperlukannya medan magnet yang kuat, dan
3. Diperlukannya sifat regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.
Komponen Komponen Pokok Refrigerasi
Operasi refrigerasi butuh suatu mesin yang disebut dengan refrigerator. Refrigerator merupakan kumpulan serangkaian peralatan, seperti:
1. Kompressor.
2. Kondensor.
3. Akumulator.
4. Mesin ekspansi / katup ekspansi.
5. Evaporator.
1. Kompressor
Kompressor adalah alat yang digunakan untuk menghisap uap refrigerant dan mengkompresinya sehingga tekanan uap refrigerant naik sampai ke tekanan yang diperlukan untuk pengembunan (kondensasi) uap regrigerant di dalam kondensor.
Kompressor ini digerakkan oleh sumber tenaga dari mesin penggerak, seperti:
• Motor listrik
• Motor bakar
• Diesel
• Mesin uap
• Turbin gas
Pada kompressor, berlaku persamaan neraca energi;
Karena kompressi, fluida kerja (uap refrigerant) terkompressi menjadi naik entalpinya (H2 > H ), sehingga dapat dikatakan energi dari sumber digunakan untuk menaikkan entalpi fluida kerja.
2. Kondensor
Kondensor merupakan alat penukar panas yang berguna untuk mendinginkan uap refrigerant dari kompressor agar dapat mengembun menjadi cairan. Pada saat pengembunan ini, refrigerant mengeluarkan sejumlah kalori (panas pengembunan) yang mana panas ini diterima oleh media pendingin di dalam kondensor.
3. Akumulator
Merupakan alat yang berguna untuk mengumpulkan cairan refrigerant yang berasal dari kondensor. Dengan adanya alat ini akan memudahkan pengaturan stock dari total refrigerant.
4. Mesin Ekspansi atau Katup Ekspansi
Mesin atau katup ekspansi ini berfungsi untuk menurunkan tekanan dari cairan refrigerant sebelum masuk ke evaporator, sehingga akan memudahkan refrigerant menguap di evaporator dan menyerap kalori (panas) dari media yang didinginkan.
5. Evaporator
Juga merupakan alat penukar panas. Refrigerant cair dengan tekanan rendah setelah proses ekspansi, diuapkan dalam alat ini. Untuk penguapan refrigerant cair ini tentunya diperlukan sejumlah kalori, yang mana diambil dari media yang akan didinginkan oleh sistem refrigerasi. Misalnya pada mesin Air Conditioning (AC), media yang didinginkan adalah udara di dalam ruangan (kamar). Begitu pula pada kulkas, media yang didinginkan adalah ruangan dalam kulkas dan segala sesuatu yang berada dalam kulkas. Uap refrigerant yang terbentuk di evaporator langsung dihisap oleh kompressor, demikian seterusnya mengulangi langkah pertama tadi sehingga membentuk suatu siklus, yang disebut dengan siklus refrigerasi.
Operasi refrigerasi butuh suatu mesin yang disebut dengan refrigerator. Refrigerator merupakan kumpulan serangkaian peralatan, seperti:
1. Kompressor.
2. Kondensor.
3. Akumulator.
4. Mesin ekspansi / katup ekspansi.
5. Evaporator.
1. Kompressor
Kompressor adalah alat yang digunakan untuk menghisap uap refrigerant dan mengkompresinya sehingga tekanan uap refrigerant naik sampai ke tekanan yang diperlukan untuk pengembunan (kondensasi) uap regrigerant di dalam kondensor.
Kompressor ini digerakkan oleh sumber tenaga dari mesin penggerak, seperti:
• Motor listrik
• Motor bakar
• Diesel
• Mesin uap
• Turbin gas
Pada kompressor, berlaku persamaan neraca energi;
Karena kompressi, fluida kerja (uap refrigerant) terkompressi menjadi naik entalpinya (H2 > H ), sehingga dapat dikatakan energi dari sumber digunakan untuk menaikkan entalpi fluida kerja.
2. Kondensor
Kondensor merupakan alat penukar panas yang berguna untuk mendinginkan uap refrigerant dari kompressor agar dapat mengembun menjadi cairan. Pada saat pengembunan ini, refrigerant mengeluarkan sejumlah kalori (panas pengembunan) yang mana panas ini diterima oleh media pendingin di dalam kondensor.
3. Akumulator
Merupakan alat yang berguna untuk mengumpulkan cairan refrigerant yang berasal dari kondensor. Dengan adanya alat ini akan memudahkan pengaturan stock dari total refrigerant.
4. Mesin Ekspansi atau Katup Ekspansi
Mesin atau katup ekspansi ini berfungsi untuk menurunkan tekanan dari cairan refrigerant sebelum masuk ke evaporator, sehingga akan memudahkan refrigerant menguap di evaporator dan menyerap kalori (panas) dari media yang didinginkan.
5. Evaporator
Juga merupakan alat penukar panas. Refrigerant cair dengan tekanan rendah setelah proses ekspansi, diuapkan dalam alat ini. Untuk penguapan refrigerant cair ini tentunya diperlukan sejumlah kalori, yang mana diambil dari media yang akan didinginkan oleh sistem refrigerasi. Misalnya pada mesin Air Conditioning (AC), media yang didinginkan adalah udara di dalam ruangan (kamar). Begitu pula pada kulkas, media yang didinginkan adalah ruangan dalam kulkas dan segala sesuatu yang berada dalam kulkas. Uap refrigerant yang terbentuk di evaporator langsung dihisap oleh kompressor, demikian seterusnya mengulangi langkah pertama tadi sehingga membentuk suatu siklus, yang disebut dengan siklus refrigerasi.
Sistim Refrigerasi Kompresi Uap
Deskripsi
Siklus refrigerasi kompresi mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa fluida yang bertekanan tinggi pada suhu tertentu cenderung menjadi lebih dingin jika dibiarkan mengembang. Jika perubahan tekanan cukup tinggi, maka gas yang ditekan akan menjadi lebih panas daripada sumber dingin diluar (contoh udara diluar) dan gas yang mengembang akan menjadi lebih dingin daripada suhu dingin yang dikehendaki. Dalam kasus ini, fluida digunakan untuk mendinginkan lingkungan bersuhu rendah dan membuang panas ke lingkungan yang bersuhu tinggi.
Siklus refrigerasi kompresi uap memiliki dua keuntungan. Pertama, sejumlah besar energi panas diperlukan untuk merubah cairan menjadi uap, dan oleh karena itu banyak panas yang dapat dibuang dari ruang yang disejukkan. Kedua, sifat-sifat isothermal penguapan membolehkan pengambilan panas tanpa menaikan suhu fluida kerja ke suhu berapapun didinginkan. Hal ini berarti bahwa laju perpindahan panas menjadi tinggi, sebab semakin dekat suhu fluida kerja mendekati suhu sekitarnya akan semakin rendah laju perpindahan panasnya.
Siklus refrigerasi ditunjukkan dalam Gambar 1 dan 2 dan dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan berikut:
1 – 2. Cairan refrigeran dalam evaporator menyerap panas dari sekitarnya, biasanya udara, air atau cairan proses lain. Selama proses ini cairan merubah bentuknya dari cair menjadi gas, dan pada keluaran evaporator gas ini diberi pemanasan berlebih/ superheated gas.
2 – 3. Uap yang diberi panas berlebih masuk menuju kompresor dimana tekanannya dinaikkan. Suhu juga akan meningkat, sebab bagian energi yang menuju proses kompresi dipindahkan ke refrigeran.
3 – 4. Superheated gas bertekanan tinggi lewat dari kompresor menuju kondenser. Bagian awal proses refrigerasi (3-3a) menurunkan panas superheated gas sebelum gas ini dikembalikan menjadi bentuk cairan (3a-3b). Refrigerasi untuk proses ini biasanya dicapai dengan menggunakan udara atau air. Penurunan suhu lebih lanjut terjadi pada pekerjaan pipa dan penerima cairan (3b - 4), sehingga cairan refrigeran didinginkan ke tingkat lebih rendah ketika cairan ini menuju alat ekspansi.
4 - 1 Cairan yang sudah didinginkan dan bertekanan tinggi melintas melalui peralatan ekspansi, yang mana akan mengurangi tekanan dan mengendalikan aliran menuju
Gambar 1. Gambaran skematis siklus refrigerasi kompresi uap
Gambar 2. Gambaran skematis siklus refrigerasi termasuk perubahan tekanannya
(Biro Efisiensi Energi, 2004)
Kondenser harus mampu membuang panas gabungan yang masuk evaporator dan kondenser.
Dengan kata lain: (1 - 2) + (2 - 3) harus sama dengan (3 - 4). Melalui alat ekspansi tidak terdapat panas yang hilang maupun yang diperoleh.
Jenis-jenis refrigeran yang digunakan dalam sistim kompresi uap
Terdapat berbagai jenis refrigeran yang digunakan dalam sistim kompresi uap. Suhu refrigerasi yang dibutuhkan sangat menentukan dalam pemilihan fluida. Refrigeran yang umum digunakan adalah yang termasuk kedalam keluarga chlorinated fluorocarbons (CFCs, disebut juga Freons): R-11, R-12, R-21, R-22 dan R-502.
Sifat-sifat bahan-refrigeran dan kinerja bahan refrigeran tersebut diberikan dalam 2 Tabel dibawah:
Pemilihan refrigeran dan suhu pendingin dan beban yang diperlukan menentukan pemilihan kompresor, juga perancangan kondenser, evaporator, dan alat pembantu lainnya. Faktor tambahan seperti kemudahan dalam perawatan, persyaratan fisik ruang dan ketersediaan utilitas untuk peralatan pembantu (air, daya, dll.) juga mempengaruhi pemilihan komponen.
Deskripsi
Siklus refrigerasi kompresi mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa fluida yang bertekanan tinggi pada suhu tertentu cenderung menjadi lebih dingin jika dibiarkan mengembang. Jika perubahan tekanan cukup tinggi, maka gas yang ditekan akan menjadi lebih panas daripada sumber dingin diluar (contoh udara diluar) dan gas yang mengembang akan menjadi lebih dingin daripada suhu dingin yang dikehendaki. Dalam kasus ini, fluida digunakan untuk mendinginkan lingkungan bersuhu rendah dan membuang panas ke lingkungan yang bersuhu tinggi.
Siklus refrigerasi kompresi uap memiliki dua keuntungan. Pertama, sejumlah besar energi panas diperlukan untuk merubah cairan menjadi uap, dan oleh karena itu banyak panas yang dapat dibuang dari ruang yang disejukkan. Kedua, sifat-sifat isothermal penguapan membolehkan pengambilan panas tanpa menaikan suhu fluida kerja ke suhu berapapun didinginkan. Hal ini berarti bahwa laju perpindahan panas menjadi tinggi, sebab semakin dekat suhu fluida kerja mendekati suhu sekitarnya akan semakin rendah laju perpindahan panasnya.
Siklus refrigerasi ditunjukkan dalam Gambar 1 dan 2 dan dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan berikut:
1 – 2. Cairan refrigeran dalam evaporator menyerap panas dari sekitarnya, biasanya udara, air atau cairan proses lain. Selama proses ini cairan merubah bentuknya dari cair menjadi gas, dan pada keluaran evaporator gas ini diberi pemanasan berlebih/ superheated gas.
2 – 3. Uap yang diberi panas berlebih masuk menuju kompresor dimana tekanannya dinaikkan. Suhu juga akan meningkat, sebab bagian energi yang menuju proses kompresi dipindahkan ke refrigeran.
3 – 4. Superheated gas bertekanan tinggi lewat dari kompresor menuju kondenser. Bagian awal proses refrigerasi (3-3a) menurunkan panas superheated gas sebelum gas ini dikembalikan menjadi bentuk cairan (3a-3b). Refrigerasi untuk proses ini biasanya dicapai dengan menggunakan udara atau air. Penurunan suhu lebih lanjut terjadi pada pekerjaan pipa dan penerima cairan (3b - 4), sehingga cairan refrigeran didinginkan ke tingkat lebih rendah ketika cairan ini menuju alat ekspansi.
4 - 1 Cairan yang sudah didinginkan dan bertekanan tinggi melintas melalui peralatan ekspansi, yang mana akan mengurangi tekanan dan mengendalikan aliran menuju
Gambar 1. Gambaran skematis siklus refrigerasi kompresi uap
Gambar 2. Gambaran skematis siklus refrigerasi termasuk perubahan tekanannya
(Biro Efisiensi Energi, 2004)
Kondenser harus mampu membuang panas gabungan yang masuk evaporator dan kondenser.
Dengan kata lain: (1 - 2) + (2 - 3) harus sama dengan (3 - 4). Melalui alat ekspansi tidak terdapat panas yang hilang maupun yang diperoleh.
Jenis-jenis refrigeran yang digunakan dalam sistim kompresi uap
Terdapat berbagai jenis refrigeran yang digunakan dalam sistim kompresi uap. Suhu refrigerasi yang dibutuhkan sangat menentukan dalam pemilihan fluida. Refrigeran yang umum digunakan adalah yang termasuk kedalam keluarga chlorinated fluorocarbons (CFCs, disebut juga Freons): R-11, R-12, R-21, R-22 dan R-502.
Sifat-sifat bahan-refrigeran dan kinerja bahan refrigeran tersebut diberikan dalam 2 Tabel dibawah:
Pemilihan refrigeran dan suhu pendingin dan beban yang diperlukan menentukan pemilihan kompresor, juga perancangan kondenser, evaporator, dan alat pembantu lainnya. Faktor tambahan seperti kemudahan dalam perawatan, persyaratan fisik ruang dan ketersediaan utilitas untuk peralatan pembantu (air, daya, dll.) juga mempengaruhi pemilihan komponen.
Kamis, 20 Mei 2010
1. Reparasi Handphone
Alat dan Bahan yang diperlukan untuk reparasi Hp adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Peralatan Reparasi HP
1. 1. Buku Skematik Hp
Buku skematik hp ini sangat diperlukan dalam melakukan reparasi untuk membaca jalur komponen hp. Fungsi: Untuk membaca Jalur Hp yang putus sehingga dapat dilakukan teknik jamper.
1. 2. Solder Uap (Blower)
Suatu alat yang wajib dimiliki oleh seorang teknisi Hp.
Alat ini juga sering disebut solder Uap karena memiliki Heater(panas) dan Air (udara) yang dapat kita atur panas tekanan udaranya. Fungsi: – Untuk mencairkan timah - Untuk mencabut/mengangkat dan mematri komponen(IC)
1. 3. DC Power Supply
Sumber tegangan yang Voltagenya bisa kita ukur sesuai dengan kebutuhan Hp, alat ini juga sering digunakan untuk mengecek kondisi Hp masih hidup atau tidak. Fungsi: – Untuk menganalisa tegangan (V) dan Ampere (A) atau yang sering disebut dengan analisa power supply. - Untuk mengecek kerusakan pada ponsel
1. 4. Solder Manual
Solder yang digunakan tidak terlalu panas dengan daya 25 watt. Fungsi: Untuk mematri komponen
1. 5. Multitester
Alat ini sangat penting untuk dimiliki oleh seorang teknisi ponsel karena memiliki banyak manfaat untuk mengetahui masih bagus atau tidak. Fungsi: – Untuk mengukur komponen - Untuk mengecek hubungan antar komponen (Jalur) - Untuk Mengecek Batteray
1. 6. BGA Plate
Suatu alat yang sering digunakan oleh teknisi untuk menjepit PCB Ponsel agar tidak bergerak pada saat pelepasan/pemasangan komponen, biasanya terbuat dari besi berani. Fungsi: Untuk menjepit PCB
1. 7. Timah Paste
IC yang sering dicabut akan menyebabkan kaki IC menjadi pendek/hilang, maka perlu untuk membuat kaki IC yang sering disebut dengan teknik pengecoran kaki IC. Fungsi: Mencetak ulang kaki IC
1. 8. Solder Paste
Terkadang yang sering kita pakai akan meninggalkan kotoran/bekas timah yang akan mengakibatkan solder tidak panas. Maka mata solder perlu dibersihkan dengan timah paste. Fungsi: Untuk membersihkan mata solder
1. 9. Cairan IPA (Tiner Inpala)
Cairan ini sering digunakan oleh teknisi untuk membersihkan PCB Ponsel. Fungsi: Untuk membersihkan PCB
1. 10. Kawat Jumper(Handsfree)
Kawat ini digunakan untuk menghubungkan jalur yang putus (Jumper) atau lebih terkenal dengan sebutan teknik jumper. Fungsi: Untuk menjumper jalur yang putus
1. 11. Tools kit
Separangkat obeng yang digunakan untuk membuka cassing ponsel terdiri dari :
* Obeng Variasi
* Tang Siemens
* Pinset lurus dan lengkung
* ”U” untuk membuka cassing 7450
* Obeng T6
1. 12. Timah 0,3
Timah yang digunkan untuk mematri komponen berukuran kecil sebesar 0,3 Fungsi: Untuk mematri komponen
1. 13. Songka Padat / Fluks
Bahan ini digunakan pada saat melepas komponen/IC, dioleskan pada body komponen yang hendak dicabut. Fungsi: mempercepat pencairan timah.
1. 14. Lampu Service
Lampu ini digunakan saat melakukan reparasi ponsel pada malam hari. Fungsi: Memberikan penerangan.
1. 15. Cetakan kaki IC
Alat ini digunakan untuk mencetak ulang kaki IC
1. 16. Pinset
Ada dua jenis pinset yang digunakan oleh teknisi ponsel yaitu pinset lengkung dan lurus. Fungsi: Untuk menjepit komponen pada saat hendak dilepas/dipatri.
Gambar 2. Contoh PCB HP (Nokia 6600)
Langganan:
Postingan (Atom)